Bukan Relawan, Tapi Udah jadi Bagian.

06.52 0 Comments A+ a-

Awalnya sih aku pengen buat kisah ini dijadiin semacam artikel gitu... Kayak artikel yang aku post di blog yang judulnya Membangun Ide, Hingga Terbit kayak semacam itu.
Tapi, kayaknya pengen beda aja dari yang lalu-lalu. Dan setelah dipertimbangin, akhirnya aku nggak bikin kayak gitu.
Oke. Jadi awalnya, aku kagum gitu sama Deandra. Tentang kisahnya selama jadi guru buat anak-anak di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Aku kepikiran buat nanya-nanya lebih kegiatan dia mengajar tanpa pamrih. Basically, Deandra ini emang suka ngajar. Apalagi ngajar ke pelosok-pelosok giitu. Kalau kata dia, emang jiwanya udah di situ. Tapi ya dia belum ada link buat ngajar di pelosok-pelosok gitu.
Betapa awesome-nya  si Deandra ini, kan? Hehe... Tapi itulah dia yang buat aku tertarik dan terinspirasi untuk share tentang dia.

So, program yang dia ajar itu namanya Taman Baca. Awalnya ada sekitar 20 orang yang menjadi relawan. 20 orang itu satu angkatan sama Deandra. Termasuk aku. Ya, aku dulu bagian dari guru Taman Baca. Tapi karena ada suatu masalah, aku memutuskan untuk mengundurkan diri. Ya, aku bilang sama senior yang juga bagian dari program itu, kalau aku nggak bisa lanjut di sana.

Deandra sama anak muridnya take a wefie haha
Terus sampai sekarang, karena adanya seleksi alam, yang bener-bener serius (jadi guru) itu adalah Deandra, sama beberapa senior dan alumni. Aku jadi penasaran kenapa dia masih bertahan, terus aku paksa dia untuk mau ditanya-tanya. Aku tanya-tanya sambil aku record. Pas aku dengerin ulang hasil tanya-tanya itu, aku senyum-senyum sendiri. Dea antusias juga waktu ditanya soal Taman Baca.
Deandra ini emang anaknya suka hal yang berbau mengajar. Salah satu temannya juga sempet ada yang kasih info tentang programnya Pak Anies Baswedan yang Indonesia Mengajar. Tapi dia belum bisa, karena harus S1 untuk ikut itu. Dan seandainya dia S1, dia kepingin banget itu. Dea bilang, program itu (Indonesia Mengajar) selain harus S1, juga harus ikut pelatihannya juga selama 3 bulan. Selama 3 bulan, yang ikut pelatihan harus kuat no hanphone, no internet, no listrik. Sebenernya listrik ada, tapi terbatas banget.
Beralih dari program Indonesia Mengajar, Dea lanjut cerita tentang pengalaman dia selama mengajar yang udah-mau-hampir 1 tahun. Pertama dia cerita tentang murid-murid yang dia ajar yang rata-rata anak SD. Awalnya dia juga pesimis, 'Bisa nggak ya gue ngajar?' gitu katanya. Tapi... setelah nyobain ngajar sekali, dia justru tambah senang. Ketagihan lah ya. Senang ketemu anak-anak kecil yang kadang buat dia lupa sama masalah-masalah yang ada di rumah atau kampus. Walaupun kadang anak-anaknya ada yang buat dia marah, ada yang buat dia gemesss... tapi dia tetap senang. Dan terus ngajar tanpa pamrih. Salut sama Dea lah pokoknya. Ya, karena ngajar anak orang itu susah-susah gampang.

Waktu masih awal-awal ngajar
Tapi, dari situ dia juga bisa ngerasain gimana perjuangan jadi seorang guru. Aku juga sempet mikir, aku suka banyak salah sama guru. Suka berperasangka sama guru-guru yang menurut aku, aku nggak suka sama cara dia ngajar or apa. Juga suka nggak dengerin atau malah tidur. Maaf ya Pak, Bu... Oh iya, by the way, mau bilang Selamat Hari Guru. Hehehe... Telat.Tapi nggak apa-apa sih telatnya nggak lama. Ya, kenapa susah-susah gampang jadi seorang guru, karena untuk mentransfer ilmu ke murid-murid itu nggak gampang. Jangankan ke murid, ya ke siapapun itu, ya susah sih. Gimana caranya orang itu paham sama apa yang kita sampein.
Sambil berlanjuuut... Dea juga sempet nyampein keprihatinan dia sama anak-anak zaman sekarang yang beda sama zaman kita dulu. Menurutnya anak zaman sekarang udah terlena akan suatu hal. Dia prihatin sama anak-anak sekarang, yang perkalian aja dia nggak hafal. Tapi, Dea nggak langsung judge anak-anak maupun orangtuanya. Ya, mungkin ini semacam globalisasi. Hahaha apansi guee...
Dea terus berusaha untuk mereka lebih semangat lagi untuk belajar melalui Taman Baca. Dia buat anak-anak itu menghafal dengan cara yang nggak ngebosenin. Ya dengan permainan misalnya.
Terus aku lanjut nanya-nanya, kalau semisal dia udah lulus dari kampus. Dan dia jawab, dia bakal sediiih banget. Dia sedih kalau harus berpisah dengan anak-anak. Tapi dia juga berharap Taman Baca terus berlanjut terus bertahan tentunya, dan makin banyak orang yang dengan senang hati mengajar anak-anak ini. Dan kalau ada orang dia adalah Relawan Taman Baca, dia agak kurang srek sih sama sebutan itu. Karena menurut dia, dia bukan Relawan lagi, tapi udah jadi bagian. Jiwanya tuh bener-bener di sana.

Sebenernya masih ada beberapa cerita yang mau di-share. Tapi karena hari semakin larut, dan rekamannya lagi di handphone, dan handphone-nya lagi di charger. Dan meskipun aku lagi nggak ngantuk karena sengaja tadi minum dua gelas penting. Tapi juga bingung mau nulis apalagi. Akhirnya, aku pamit undur diri. (Bagian yang nggak penting)
Semoga ceritanya Deandra menginspirasi kalian siapapun yang baca. Karena menurutku jarang banget anak muda yang tertarik dengan hal-hal yang seperti itu. Ya, kalian bisa bilang sepele atau apapun itu. Tapi Dea hebat menurutku. Dia rela menghabiskan sebagian waktunya untuk ngajar. So, aku pun belum tentu bisa kayak dia. Dan kegiatan Deandra ini bisa dikategoriin dengan aksi sosial, ya nggak sih? hehe...
Yaudah, sekian...