Magnet - Sudut Pandang Ibu Glo

19.00 0 Comments A+ a-

Gadis berambut sebahu tengah memandang hutan-hutan besi dari atas rooftop lewat mata bulatnya. Merasakan hembusan angin yang menampar wajah dan rambutnya. Binaria, nama gadis yang tengah duduk di tepi rooftop itu.
“Saat manusia dilahirkan, apa dia bisa memilih ingin menjadi anak dari orangtua yang baik-baik?” tanya Binaria kemudian kepada seorang lelaki di sebelahnya. Tatapannya masih lurus ke depan. “Siapa yang mau jadi anak dari seorang pelacur? Dulu, waktu SD. Gue sering diejek karena gue orang miskin dan ibu gue seorang pelacur sampai akhirnya ibu gue ninggalin gue dan ayah gue. Tapi, gue nggak pernah peduli sama mereka yang ngejek gue. Gue nggak pernah marah sama ibu gue. Gue cuma kecewa. Gue berusaha nggak peduli sama ibu gue yang jadi pelacur. Yang penting masih ada ayah gue. Ayah terbaik gue.”


Rasanya aneh memang untuk anak kecil mengetahui tentang pekerjaan ‘pelacur’. Seperti Binaria halnya, dia mengetahui pekerjaan itu karena lingkungan dan pekerjaan ibunya. Awalnya dia hanya mengetahui pekerjaan di dunia ini seperti dokter, polisi, guru, dan sebagainya. Hingga akhirnya, gadis kecil itu memaksa kepada sang ayah untuk menjelaskan pekerjaan seperti apa yang dilakukan ibunya.
“Semenjak ibu ninggalin rumah, kita nggak pernah ketemu lagi sampe sekarang. Selama itu gue mencoba buat lupain dia yang pernah lahirin gue. Selama itu juga, usaha gue sia-sia. Hasilnya, gue nggak akan pernah bisa lupa. Gue semakin rindu sama dia.” Binaria kini menoleh ke arah lelaki yang duduk di samping kanannya yang sejak tadi mendengarkan ceritanya tanpa bergeming sekalipun. Gadis itu kembali menatap lurus ke depan dan tanpa disadari air matanya menetes.
“Sekuat-kuat apapun lo bangun pertahanan itu, pertahanan lo itu akan runtuh juga. Karena bom rindu yang ledakannya sangat kuat.” Perkataan itu membuat Binar menoleh ke lelaki itu. Awalnya dia terdiam, kemudian tertawa.
“Loh, kok ketawa?” tanya lelaki itu. Tawa Binar belum reda juga.
“Kalimatnya berat banget.” Balasnya sambil menahan tawa.
Baru kali ini dia melihat tawa Binar. Ya, selama Adam mengenal Binaria, inilah pertama kali dia melihat Binaria mengembangkan senyum. Namun, entahlah jenis tawa yang diberikan Binaria itu. Apakah memang perkataannya lucu, atau dia ingin mencoba menutupi sedihnya. Intinya, itu membuat Adam ikut senang.
Adam, satu-satunya teman yang Binaria punya saat ini. Satu-satunya orang yang ingin berteman dengan anak dari seorang pelacur padahal dia merupakan anak dari keluarga terhormat. Pertama kali, saat Adam meminta Binaria menjadi temannya membuat gadis itu ragu. Kemudian Adam menjawab keraguan Binaria dengan mengatakan bahwa, semua manusia mempunyai kehidupan kotor dan semua manusia tidak melulu sempurna. Apa yang dilihat orang-orang mengenai keluarga baik-baik, keluarga terpandang atau terhormat, tidak semuanya murni baik. Pasti ada retaknya. Itu hanya pintar-pintar manusia menutupinya. Kadang manusia memanipulasi dengan kebaikannya.  Dan Adam tidak pernah keberatan ingin berteman dengan siapa saja, selama orang itu tidak munafik dan memiliki sifat tulus terhadap temannya. Itu yang Adam temui dari diri Binaria.
“Terus setelah ini, lo mau nemuin ibu lo?”  Binaria mengedikkan bahunya. Entahlah, dia pun juga bingung harus menemui ibunya dengan cara apa. Mendiang ayahnya pernah bilang, kalau tempat di mana ibunya bekerja jangan pernah dikunjungi. Itu tempat yang berbahaya.
“Tenang aja, gue pasti bantuin lo, Bi.” Adam meraih tangan Binaria sambil tersenyum.
***
Seminggu kemudian. 
Sore ini Adam mengajak Binaria bertemu dengannya di sebuah kafetaria. Terkejut, itulah ekspresi Binaria saat bertemu Adam. Wajah lelaki itu lembam-lebam tapi tidak terlalu parah.
            “Muka lo kenapa, Dam?” tanya Binaria penuh khawatir. Respons gadis itu sangat berlebihan ketika mengecek wajah Adam dengan tangannya, membuat Adam mengaduh.
            “Lo bikin tambah sakit aja tau gak!” sahut Adam. Binaria langsung menurunkan tangannya.
            “Udah, ya. Lo nggak perlu tahu kenapa. Sekarang gue pengen ngasih tahu sesuatu.” Binar menjadi penasaran. Adam mengeluarkan ponselnya kemudian menunjukkan sebuah foto seorang wanita. “Dua hari kemarin gue coba cari keberadaan ibu lo. Dan hasilnya gak nihil. Gue udah nemuin alamatnya. Ibu lo kerja di Koro Bar.” Setelah Binaria melihat foto ibunya di dalam ponsel Adam dan mendengarkan cerita lelaki, rupanya Binaria tidak tertarik. Membuat Adam bertanya-tanya.
            “Sehari setelah gue cerita ke lo kalo gue rindu ibu gue, gue langsung temuin dia.” Ujar Binaria tanpa sedikit pun menoleh ke Adam. “Gue nggak ketemu dia. Tapi, pertemuan yang nggak gue harapkan. Ibu gue sama cowok yang gue gak tahu itu siapa, dating nemuin gue yang nungguin dia di depan pintu Koro Bar. Dan dia nyuruh gue buat gak dateng lagi ketempat itu. Gue disuruh pulang,  dan dia bilang anggap aja gue gak punya ibu kayak dia. Seakan dia bilang kita harus jalanin hubungan kita masing-masing aja. Dan dia juga akan lupain kalo dia pernah ngelahirin gue.”
            Pernyataan Binar membuat Adam tak menyangka. Tanpa sadar Adam menggeleng-gelengkan kepalanya bak menonton kejadian tragis. Namun, seperti itulah nyatanya. Kenyataan bahwa masih ada ibu di dunia ini yang tega berkata itu kepada darah dagingnya sendiri. Bagi Adam, kisah Binaria ini hanya ia lihat di cerita-cerita televisi, novel atau buku cerita. Kisah Binaria sangat memilukan.
            “Tapi, Bi. Lo nggak boleh nyerah. Lo harus tahu kenapa ibu lo bisa berkata begitu. Lo harus berusaha dapetin apa yang lo mau sekarang. Biarin orang bilang apa aja tentang ibu lo, yang penting lo ketemu sama dia. Gue pengen lo ketemu sama dia. Gue aja semangat, masa lo nggak? Gue udah babak belur kayak gini, lho.” Adam menunjuk-nunjuk wajahnya dengan bangga.
            “Makasih ya, Dam.” Binar tersenyum haru ternyata wajahnya itu diakibatkan karena mencari keberadaan ibu Binar.
            “Lo tenang  aja. Pokoknya gue bakal bantuin lo.”
            “Gak! Gue gak mau libatin lo. Ini semua gara-gara lo bantuin gue. Lo juga kenapa lagi nyari bilang-bilang sama gue. Atau nggak kan lo bisa bawa bodyguard lo.”
            “Iya ya, gue kok bodoh banget ya gak kepikiran gitu.” Adam mengusap-usap dagunya, merasa sedikit menyesal. Andaikan saja lelaki itu membawa pengawal yang ada di rumahnya, mungkin saja wajahnya yang tampan itu tidak babak belur. “Ah, sudahlah. Harusnya lo berterimakasih sama gue.” Untuk kedua kalinya Binar mengucapkan terimakasih untuk tindakan Adam.
***
Semua kenyataan itu justru menyebabkan Binaria menjadi kalut. Kini ibunya sudah tidak bekerja di Koro Bar dan sudah berhenti menjadi seorang pelacur. Kata salah satu petugas di Bar tersebut, Julia ibu Binaria, sudah tidak pernah datang lagi ke tempat itu dikarenakan sepi pelanggan. Seharusnya Binaria senang. Ya, benar gadis itu senang sekali. Namun, ada satu hal yang membuat hatinya semakin teriris.
“Julia adalah wanita yang memiliki banyak pelanggan, banyak pula wanita yang satu profesi dengannya yang sangat iri dengannya. Dari semua orang di sini, hanya aku yang tahu kalo Julia punya anak. Aku juga tahu, kalo kamu waktu itu ke Koro Bar buat nungguin Julia. Aku liat kamu diusir terus kamu nangis. Aku liat Julia gak peduli saat kamu nangis. Sebenarnya, Julia merasakan sakit hati saat memperlakukan kamu begitu. Sebenarnya jugaa.. sudah dua tahun ini Julia mengidap AIDS dan setelahnya dia divonis dokter mengidap kanker serviks. Aku kasihan sama dia.” Penuturan teman Julia yang tampilannya seperti lelaki tetapi gaya pakaian dan bicaranya seperti perempuan itu membuat Binaria tak menyangka seberat itukah beban ibunya. Binaria tahu, penyakit itu karena pola hidup ibunya yang salah. 
“Kenapa setelah tahu seperti itu, ibu gak langsung berhenti jadi pelacur?” tanya Binaria, wajahnya menampilkan ekspresi tak percaya.
“Lelaki hidung belang itu pada suka sama ibumu. Dia gak akan biarkan ibumu pergi. Ibumu juga bilang kalau dia pergi bakal percuma aja. Siapa yang mau nerima wanita dengan penyakit hina itu? Keluarga pun tak mau katanya.”
“Terus apa yang membuat ibu akhirnya berhenti? Apa ada orang yang mau nerima dia sekarang apa adanya?”
            “Karena wanita-wanita itu yang menyebarkan tentang penyakit Julia. Awalnya lelaki itu tidak percaya, tapi Julia yang mengakui sendiri. Binaria, kamu harus temani Julia. Di masa-masa sulitnya dia hanya sendiri.”
            Percakapannya dengan teman ibunya tadi terus saja terngiang di dalam benak Binaria. Kepalanya semakin pusing, berat sekali. Binaria terus memijit kepalanya.
            “Bi, lo gak pa-pa?” tanya Adam yang berjalan di sampingnya. Belum sempat dijawab, Binaria sudah tumbang. Dengan cepat Adam menopang tubuh Binaria. “Bi, bangun Bi!”
***
            Gadis itu berusaha membuka matanya. Sudah siuman rupanya. Pandangannya masih buram, beberapa kali mengerjapkan mata dengan perlahan sampai penglihatannya normal kembali. Binaria sedang berada di rumah sakit dan kepalanya masih terasa berat karena kata dokter dia mengalami syok walau tidak seperti sebelumnya.
            Gadis itu menoleh ke kanan, ada seseorang yang memegang lembut tangan kanannya. Mendapati sesosok wanita yang ia kenali dengan memakai pakaian pasien rumah sakit, kulit wajah yang pucat tidak terlihat sentuhan make up seperti sebelumnya, tubuh yang terlihat kurus kerontang, dan kursi roda.  Air mata tak mampu lagi ia bendung, hingga akhirnya tumpah.
            “Ibu..” ucap Binaria lirih. Bibirnya gemetar saat mengucapkan kalimat itu. Badannya semakin lemas untuk hanya berdiri saja.
            “Binar… maaf, sayang.” Ucap wanita itu, Julia. Sekarang, Binaria tidak melihat sikap penolakan yang ditujukan ibunya seperti waktu itu dia menemui ibunya di Koro Bar.
            “Maafin Binar, Bu.” Putrinya dengan sekuat tenaga untuk berbicara, karena lidahnya amat kelu saat ini. “Maafin Binar… Harus.. harusnya dari awal Binar mencari ibu.” Julia menggeleng dan semakin mempererat genggamannya. Binaria menangis menjadi-jadi, sesenggukkan dan bibirnya pun gemetar.
            “Nggak, sayang. Kamu nggak salah.” Ibunya terus mengelus rambut putrinya lalu mendekap kepala putrinya itu ke dalam dadanya. “Maafkan ibu, Binar. Sudah membuat kamu malu selama ini.”
            “Jangan tinggalin Binar, Bu.”
            “Nggak, Binar. Gak akan lagi. Ibu sayang Binar. Maafin ibu..”
            Mereka sama-sama hanyut dalam tangisan. Julia melepas segala peluh yang menghinggap di pundaknya selama bertahun-tahun sekaligus melepas rindu yang baru bisa terobati. Lalu sekeras apapun Binaria berkata kalau dirinya tidak peduli dengan ibunya yang bekerja sebagai pelacur, itu akan goyah juga. Julia tetaplah ibunya yang selalu ia cintai, rindukan, dan dialah ibu yang telah melahirkannya dengan atau tanpa kasih sayang. Binaria sangat merasakan betapa rapuhnya tubuh itu. Untuk saat ini dan seterusnya, keduanya saling mengikat janji untuk saling menjaga dan tidak meninggalkan. Sebesar apapun penyakit yang Julia hadapi sekarang, sebesar apapun penolakan lingkungan terhadap Julia yang orang ketahui dia adalah mantan pelacur, selama ada malaikat kecilnya yang terus berada di sampingnya peluh itu lambat laun tidak akan terasa.
            Kini Binaria sangat bahagia dari hari-hari sebelumnya. Sepulang sekolah, selalu ada sosok ibu yang menemaninya. Hidupnya semakin berarti dan memiliki tujuan. Ada sosok ibu yang harus dia perjuangkan, dan sosok ibu yang menjadi alasan untuknya menjadi orang yang membanggakan di sekolah dengan meningkatnya nilai-nilai ulangannya. Ada sosok Julia yang selalu menemani tidurnya, menyanyikan

Mother love is the fuel that enables the normal human being to do the impposible
­-Marion C. Garrety

                                                                        SELESAI