Magnet - Sudut Pandang Ibu Glo
Gadis
berambut sebahu tengah memandang hutan-hutan besi dari atas rooftop lewat mata bulatnya. Merasakan
hembusan angin yang menampar wajah dan rambutnya. Binaria, nama gadis yang
tengah duduk di tepi rooftop itu.
“Saat
manusia dilahirkan, apa dia bisa memilih ingin menjadi anak dari orangtua yang
baik-baik?” tanya Binaria kemudian kepada seorang lelaki di sebelahnya.
Tatapannya masih lurus ke depan. “Siapa yang mau jadi anak dari seorang
pelacur? Dulu, waktu SD. Gue sering diejek karena gue orang miskin dan ibu gue
seorang pelacur sampai akhirnya ibu gue ninggalin gue dan ayah gue. Tapi, gue
nggak pernah peduli sama mereka yang ngejek gue. Gue nggak pernah marah sama
ibu gue. Gue cuma kecewa. Gue berusaha nggak peduli sama ibu gue yang jadi
pelacur. Yang penting masih ada ayah gue. Ayah terbaik gue.”
Rasanya
aneh memang untuk anak kecil mengetahui tentang pekerjaan ‘pelacur’. Seperti
Binaria halnya, dia mengetahui pekerjaan itu karena lingkungan dan pekerjaan
ibunya. Awalnya dia hanya mengetahui pekerjaan di dunia ini seperti dokter,
polisi, guru, dan sebagainya. Hingga akhirnya, gadis kecil itu memaksa kepada
sang ayah untuk menjelaskan pekerjaan seperti apa yang dilakukan ibunya.
“Semenjak
ibu ninggalin rumah, kita nggak pernah ketemu lagi sampe sekarang. Selama itu
gue mencoba buat lupain dia yang pernah lahirin gue. Selama itu juga, usaha gue
sia-sia. Hasilnya, gue nggak akan pernah bisa lupa. Gue semakin rindu sama
dia.” Binaria kini menoleh ke arah lelaki yang duduk di samping kanannya yang
sejak tadi mendengarkan ceritanya tanpa bergeming sekalipun. Gadis itu kembali
menatap lurus ke depan dan tanpa disadari air matanya menetes.
“Sekuat-kuat
apapun lo bangun pertahanan itu, pertahanan lo itu akan runtuh juga. Karena bom
rindu yang ledakannya sangat kuat.” Perkataan itu membuat Binar menoleh ke
lelaki itu. Awalnya dia terdiam, kemudian tertawa.
“Loh,
kok ketawa?” tanya lelaki itu. Tawa Binar belum reda juga.
“Kalimatnya
berat banget.” Balasnya sambil menahan tawa.
Baru
kali ini dia melihat tawa Binar. Ya, selama Adam mengenal Binaria, inilah
pertama kali dia melihat Binaria mengembangkan senyum. Namun, entahlah jenis
tawa yang diberikan Binaria itu. Apakah memang perkataannya lucu, atau dia
ingin mencoba menutupi sedihnya. Intinya, itu membuat Adam ikut senang.
Adam,
satu-satunya teman yang Binaria punya saat ini. Satu-satunya orang yang ingin
berteman dengan anak dari seorang pelacur padahal dia merupakan anak dari
keluarga terhormat. Pertama kali, saat Adam meminta Binaria menjadi temannya
membuat gadis itu ragu. Kemudian Adam menjawab keraguan Binaria dengan
mengatakan bahwa, semua manusia mempunyai
kehidupan kotor dan semua manusia tidak melulu sempurna. Apa yang dilihat
orang-orang mengenai keluarga baik-baik, keluarga terpandang atau terhormat, tidak
semuanya murni baik. Pasti ada retaknya. Itu hanya pintar-pintar manusia
menutupinya. Kadang manusia memanipulasi dengan kebaikannya. Dan Adam tidak pernah keberatan ingin
berteman dengan siapa saja, selama orang itu tidak munafik dan memiliki sifat tulus
terhadap temannya. Itu yang Adam temui dari diri Binaria.
“Terus
setelah ini, lo mau nemuin ibu lo?”
Binaria mengedikkan bahunya. Entahlah, dia pun juga bingung harus
menemui ibunya dengan cara apa. Mendiang ayahnya pernah bilang, kalau tempat di
mana ibunya bekerja jangan pernah dikunjungi. Itu tempat yang berbahaya.
“Tenang
aja, gue pasti bantuin lo, Bi.” Adam meraih tangan Binaria sambil tersenyum.
***
Seminggu
kemudian.
Sore
ini Adam mengajak Binaria bertemu dengannya di sebuah kafetaria. Terkejut,
itulah ekspresi Binaria saat bertemu Adam. Wajah lelaki itu lembam-lebam tapi
tidak terlalu parah.
“Muka lo kenapa, Dam?” tanya Binaria
penuh khawatir. Respons gadis itu sangat berlebihan ketika mengecek wajah Adam
dengan tangannya, membuat Adam mengaduh.
“Lo bikin tambah sakit aja tau gak!”
sahut Adam. Binaria langsung menurunkan tangannya.
“Udah, ya. Lo nggak perlu tahu
kenapa. Sekarang gue pengen ngasih tahu sesuatu.” Binar menjadi penasaran. Adam
mengeluarkan ponselnya kemudian menunjukkan sebuah foto seorang wanita. “Dua
hari kemarin gue coba cari keberadaan ibu lo. Dan hasilnya gak nihil. Gue udah
nemuin alamatnya. Ibu lo kerja di Koro Bar.” Setelah Binaria melihat foto
ibunya di dalam ponsel Adam dan mendengarkan cerita lelaki, rupanya Binaria
tidak tertarik. Membuat Adam bertanya-tanya.
“Sehari setelah gue cerita ke lo
kalo gue rindu ibu gue, gue langsung temuin dia.” Ujar Binaria tanpa sedikit
pun menoleh ke Adam. “Gue nggak ketemu dia. Tapi, pertemuan yang nggak gue
harapkan. Ibu gue sama cowok yang gue gak tahu itu siapa, dating nemuin gue
yang nungguin dia di depan pintu Koro Bar. Dan dia nyuruh gue buat gak dateng
lagi ketempat itu. Gue disuruh pulang,
dan dia bilang anggap aja gue gak punya ibu kayak dia. Seakan dia bilang
kita harus jalanin hubungan kita masing-masing aja. Dan dia juga akan lupain
kalo dia pernah ngelahirin gue.”
Pernyataan Binar membuat Adam tak
menyangka. Tanpa sadar Adam menggeleng-gelengkan kepalanya bak menonton
kejadian tragis. Namun, seperti itulah nyatanya. Kenyataan bahwa masih ada ibu
di dunia ini yang tega berkata itu kepada darah dagingnya sendiri. Bagi Adam,
kisah Binaria ini hanya ia lihat di cerita-cerita televisi, novel atau buku
cerita. Kisah Binaria sangat memilukan.
“Tapi, Bi. Lo nggak boleh nyerah. Lo
harus tahu kenapa ibu lo bisa berkata begitu. Lo harus berusaha dapetin apa
yang lo mau sekarang. Biarin orang bilang apa aja tentang ibu lo, yang penting
lo ketemu sama dia. Gue pengen lo ketemu sama dia. Gue aja semangat, masa lo
nggak? Gue udah babak belur kayak gini, lho.” Adam menunjuk-nunjuk wajahnya
dengan bangga.
“Makasih ya, Dam.” Binar tersenyum
haru ternyata wajahnya itu diakibatkan karena mencari keberadaan ibu Binar.
“Lo tenang aja. Pokoknya gue bakal bantuin lo.”
“Gak! Gue gak mau libatin lo. Ini
semua gara-gara lo bantuin gue. Lo juga kenapa lagi nyari bilang-bilang sama
gue. Atau nggak kan lo bisa bawa bodyguard
lo.”
“Iya ya, gue kok bodoh banget ya gak
kepikiran gitu.” Adam mengusap-usap dagunya, merasa sedikit menyesal. Andaikan
saja lelaki itu membawa pengawal yang ada di rumahnya, mungkin saja wajahnya
yang tampan itu tidak babak belur. “Ah, sudahlah. Harusnya lo berterimakasih
sama gue.” Untuk kedua kalinya Binar mengucapkan terimakasih untuk tindakan
Adam.
***
Semua
kenyataan itu justru menyebabkan Binaria menjadi kalut. Kini ibunya sudah tidak
bekerja di Koro Bar dan sudah berhenti menjadi seorang pelacur. Kata salah satu
petugas di Bar tersebut, Julia ibu Binaria, sudah tidak pernah datang lagi ke
tempat itu dikarenakan sepi pelanggan. Seharusnya Binaria senang. Ya, benar
gadis itu senang sekali. Namun, ada satu hal yang membuat hatinya semakin
teriris.
“Julia
adalah wanita yang memiliki banyak pelanggan, banyak pula wanita yang satu
profesi dengannya yang sangat iri dengannya. Dari semua orang di sini, hanya
aku yang tahu kalo Julia punya anak. Aku juga tahu, kalo kamu waktu itu ke Koro
Bar buat nungguin Julia. Aku liat kamu diusir terus kamu nangis. Aku liat Julia
gak peduli saat kamu nangis. Sebenarnya, Julia merasakan sakit hati saat
memperlakukan kamu begitu. Sebenarnya jugaa.. sudah dua tahun ini Julia
mengidap AIDS dan setelahnya dia divonis dokter mengidap kanker serviks. Aku
kasihan sama dia.” Penuturan teman Julia yang tampilannya seperti lelaki tetapi
gaya pakaian dan bicaranya seperti perempuan itu membuat Binaria tak menyangka
seberat itukah beban ibunya. Binaria tahu, penyakit itu karena pola hidup
ibunya yang salah.
“Kenapa
setelah tahu seperti itu, ibu gak langsung berhenti jadi pelacur?” tanya
Binaria, wajahnya menampilkan ekspresi tak percaya.
“Lelaki
hidung belang itu pada suka sama ibumu. Dia gak akan biarkan ibumu pergi. Ibumu
juga bilang kalau dia pergi bakal percuma aja. Siapa yang mau nerima wanita
dengan penyakit hina itu? Keluarga pun tak mau katanya.”
“Terus
apa yang membuat ibu akhirnya berhenti? Apa ada orang yang mau nerima dia
sekarang apa adanya?”
“Karena wanita-wanita itu yang
menyebarkan tentang penyakit Julia. Awalnya lelaki itu tidak percaya, tapi
Julia yang mengakui sendiri. Binaria, kamu harus temani Julia. Di masa-masa
sulitnya dia hanya sendiri.”
Percakapannya dengan teman ibunya
tadi terus saja terngiang di dalam benak Binaria. Kepalanya semakin pusing,
berat sekali. Binaria terus memijit kepalanya.
“Bi, lo gak pa-pa?” tanya Adam yang
berjalan di sampingnya. Belum sempat dijawab, Binaria sudah tumbang. Dengan
cepat Adam menopang tubuh Binaria. “Bi, bangun Bi!”
***
Gadis itu berusaha membuka matanya.
Sudah siuman rupanya. Pandangannya masih buram, beberapa kali mengerjapkan mata
dengan perlahan sampai penglihatannya normal kembali. Binaria sedang berada di
rumah sakit dan kepalanya masih terasa berat karena kata dokter dia mengalami
syok walau tidak seperti sebelumnya.
Gadis itu menoleh ke kanan, ada
seseorang yang memegang lembut tangan kanannya. Mendapati sesosok wanita yang
ia kenali dengan memakai pakaian pasien rumah sakit, kulit wajah yang pucat
tidak terlihat sentuhan make up seperti
sebelumnya, tubuh yang terlihat kurus kerontang, dan kursi roda. Air mata tak mampu lagi ia bendung, hingga
akhirnya tumpah.
“Ibu..” ucap Binaria lirih. Bibirnya
gemetar saat mengucapkan kalimat itu. Badannya semakin lemas untuk hanya
berdiri saja.
“Binar… maaf, sayang.” Ucap wanita
itu, Julia. Sekarang, Binaria tidak melihat sikap penolakan yang ditujukan
ibunya seperti waktu itu dia menemui ibunya di Koro Bar.
“Maafin Binar, Bu.” Putrinya dengan
sekuat tenaga untuk berbicara, karena lidahnya amat kelu saat ini. “Maafin
Binar… Harus.. harusnya dari awal Binar mencari ibu.” Julia menggeleng dan
semakin mempererat genggamannya. Binaria menangis menjadi-jadi, sesenggukkan
dan bibirnya pun gemetar.
“Nggak, sayang. Kamu nggak salah.”
Ibunya terus mengelus rambut putrinya lalu mendekap kepala putrinya itu ke
dalam dadanya. “Maafkan ibu, Binar. Sudah membuat kamu malu selama ini.”
“Jangan tinggalin Binar, Bu.”
“Nggak, Binar. Gak akan lagi. Ibu
sayang Binar. Maafin ibu..”
Mereka sama-sama hanyut dalam
tangisan. Julia melepas segala peluh yang menghinggap di pundaknya selama
bertahun-tahun sekaligus melepas rindu yang baru bisa terobati. Lalu sekeras
apapun Binaria berkata kalau dirinya tidak peduli dengan ibunya yang bekerja
sebagai pelacur, itu akan goyah juga. Julia tetaplah ibunya yang selalu ia
cintai, rindukan, dan dialah ibu yang telah melahirkannya dengan atau tanpa
kasih sayang. Binaria sangat merasakan betapa rapuhnya tubuh itu. Untuk saat
ini dan seterusnya, keduanya saling mengikat janji untuk saling menjaga dan
tidak meninggalkan. Sebesar apapun penyakit yang Julia hadapi sekarang, sebesar
apapun penolakan lingkungan terhadap Julia yang orang ketahui dia adalah mantan
pelacur, selama ada malaikat kecilnya yang terus berada di sampingnya peluh itu
lambat laun tidak akan terasa.
Kini Binaria sangat bahagia dari
hari-hari sebelumnya. Sepulang sekolah, selalu ada sosok ibu yang menemaninya.
Hidupnya semakin berarti dan memiliki tujuan. Ada sosok ibu yang harus dia
perjuangkan, dan sosok ibu yang menjadi alasan untuknya menjadi orang yang
membanggakan di sekolah dengan meningkatnya nilai-nilai ulangannya. Ada sosok
Julia yang selalu menemani tidurnya, menyanyikan
Mother love is the fuel that
enables the normal human being to do the impposible
-Marion C. Garrety
SELESAI