KEMBALI

06.11 0 Comments A+ a-

Ini naskah yang gue terbitin, dan nggak lolos. Tulisan ini sangat random menurut gue. karena kurang memahami tentang penulisan cerita be-genre horor. Tapi gue bangga sama diri gue sendiri. Karena apa? sebetulnya genre menulis gue bukan horor, melainkan love story, romantic. Ya, walaupun itu juga belum betul betul amat. Tapi disinilah kebanggaan terhadap diri gue sendiri yang mau berusaha mencoba menuliskan suatu cerita bergenre horor yang belum pernah gue buat sebelumnya. Sebenernya gak penting juga buat di post. Yaudah, blog blog gue kok -,- :D
OKE CUKUP! buat curhatnya....

______________________



Maret, 2012
Diana POV
Tahun ajaran baru sudah di mulai. Kini aku dan teman-temanku mulai menempati kelas baru. Aku jadi teringat dengan cerita Siska. Kemarin saat acara ulang tahun Alit, gadis itu bercerita tentang sejarah sekolah ini. Sejarah yang ia ketahui dari penjual Soto di sekolah kami, yang sudah lama tinggal di daerah Bekasi. Cerita yang sukses membuat bulu kudukku sedikit merinding. Hanya sedikit.
            Saat tahun 2005 silam. Ketika seorang murid perempuan mendadak tewas dengan tragis, dan sampai sekarang mayatnya belum ditemukan. Ya, aku tidak tahu kenapa. Pasti setiap kematian sudah di rencanakan oleh Tuhan. Tetapi setiap kejadian mistik yang terjadi di sekolah ini selalu saja di kaitkan dengan siswi tersebut.
            Setelah kenaikan kelas 11. Tidak ada yang berubah. Masih tetap seperti yang kemarin. Teman-teman kelas pun masih sama seperti kemarin. Hanya kami berpindah tempat kelas. Aku dan Nadira melangkah menaiki tangga menuju kelas baru kami yang berada di lantai dua. Ini pertama kalinya kami menempati kelas 11 B. Aku meraih kenop pintu ruang ini. Ruangan ini sangat lembab dan sedikit gelap. Ya, mungkin karena kami berangkat pagi buta.  Satu kipas yang berada di bagian belakang yang terpasang di langit-langit atap menyala. Nadira langsung mengernyit melihatnya. Ini sungguh aneh. Siapa yang menyalakannya?
            “Kita kebawah aja yuk, Di?” Ajaknya sambil menoleh kearahku. Keringat mulai membasahi pipinya. Pasti dia merasakan hal yang sama denganku. Mana mungkin kipas menyala. Sudah 2 minggu kami libur. Dan sekarang masih pagi sekali. Hanya ada aku, Nadira, dan Pak Wanto, guru olahraga sekaligus PLH (lingkungan hidup). Tanpa berpikir panjang, aku langsung menuruti permintaan Nadira untuk turun ke lantai 1 dengan cepat. 
            “Hey!” Teriaknya saat melihat kami berlarian di tangga. “Jangan lari-lari di tangga! Nanti kalian jatuh.” Ingatnya. Kami langsung berhenti ketika sampai pada tangga yang terakhir, sambil mengatur nafas kami yang terengah-engah. Pria separuh baya itu sedang menenteng koran harian di tangan kirinya dan di tangan kanannya membawa segelas teh hangat yang masih mengeluarkan asapnya.
            “Bapak yang menyalakan kipas kelas 11 B?” Nadira sudah mulai menormalkan nafasnya.
            “Tidak.” Pak Wanto mengerutkan keningnya, ikut keheranan. “Mana mungkin bapak yang menyalakan. Ada juga, kalau saya melihat. Langsung saya matikan.” Betul juga kata beliau. Beliaukan guru PLH yang menerapkan hemat energi.
            “Terus siapa yang menyalakan?” Tanyaku ikut keheranan.
            Pak Wanto mengangkat kedua bahunya. “Ah, kalau seperti itu sudah biasa.” Pak Wanto meninggalkan kami dan duduk di kursi piket sambil menikmati teh dan korannya. Sementara kami masih kebingungan dan ikut duduk di halaman luar.
****
Author’s POV
            Pukul 07.00 am
Bel lonceng sudah berdering. Anak-anak yang masih setengah jalan mulai berlarian agar tidak telat. Diana dan Nadira juga tidak lagi terduduk di bawah pohon rindang setelah hampir setengah jam dia menunggu teman-teman sekelasnya. Kota Bekasi pun mulai ramai dengan hingar bingar penduduk yang ingin melanjutkan aktivitasnya masing-masing.
Aku melihatnya dari kejauhan yang sungguh nampak terekam dari indera penglihatanku.
***
Seminggu kemudian
Akhir-akhir ini mereka merasakan hal yang aneh. Yang terjadi di luar nalar mereka sendiri. Pagi tadi, siswi baru pindahan dari Majalengka memperkenalkan dirinya di depan kelas. Diana selalu memandanginya sejak pagi tadi. Entahlah, ada yang aneh dari sikapnya. Gadis itu selalu diam. Menyendiri. Melamun.
            Dia di tempatkan di meja yang paling belakang. Lagi-lagi sendiri. Dan saat istirahat pertama. Gadis itu menyendiri di kelas. Sedangkan yang lain pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang kosong.
            Diana dan Siska mendekati gadis itu. “Hai?” Sapa Diana dan Siska secara bersamaan. Gadis itu mengangkat dagunya yang sebelumnya tertunduk. Di kelas hanya ada mereka  bertiga. Gadis itu tersenyum. Wajahnya sayu.
            “Hai.” Diana merasakan sesuatu pada gadis itu. Nada suaranya getar.
            “Namaku Siska.” Siska lebih dulu mengulurkan tangannya yang sesudahnya diikuti dengan Diana. Dan langsung memperkenalkan namanya.
            “Aku Tira.” Balas gadis itu. ini pertemuan yang di isi dengan sekedar basa-basi. Diana merasakan hal yang aneh pada gadis itu. Tangannya basah dan dingin. Ya, Diana merasakannya.
Diana adalah salah satu murid indigo. Kepekaan terhadap hal mistik sudah dialaminya sejak dia berumur 8 tahun. Tepat pada saat dia pindah ke rumah barunya di kota ini, kota Bekasi tahun 2005. Sejujurnya kakeknya juga memiliki kemampuan seperti ini. Tapi, ia baru merasakannya pada saat umurnya 8 tahun. Terkadang dia merasa sedikit terganggu dengan kemampuannya ini. Kemampuan yang sama sekali tidak diinginkannya. 
Sekarang, Diana merasakan hal yang ganjal dengan temannya. Mereka hanya berdua di kelas. Siska baru saja pergi ke ruang guru untuk mengurusi kartu pelajarnya yang hilang. Siska memang suka ceroboh.
            “Sekolah ini terasa tidak asing bagiku.” Kata-kata yang keluar dari mulut Tira membuat Diana tersentak.
            “Maksudmu?” Tanya Diana sembari memainkan jemari tangannya. Tiba-tiba ia merasakan hawa panas menyelimuti badannya.
            “Tidak.” Tira menggeleng kemudian membuang nafas. Ia kembali terdiam. Tatapannya lurus ke papan tulis. “Ibuku baru saja meninggal. Aku tinggal bersama ayahku.” Lanjutnya lagi. Tiba-tiba saja dia berbicara hal mengenai dirinya.
            “Aku turut berduka cita.” Diana mengelus pundak Tira dengan lembut. Menenangkan gadis itu. Tangannya berhenti mengelus, dan masih menggantung di pundak Tira. Hening selama beberapa menit. Pundaknya sangat hangat. Diana memandangi lekuk wajah  Tira yang sayu.
Suasana semakin lembab. Diana mulai merasakan sesuatu. Dia baru akan bangkit untuk mengambil air mineral di tasnya ketika ada yang memukul tangannya dengan sangat keras. Diana tersentak kaget dan melihat ke arah Tira yang tersenyum aneh.
            Diana teriak dengan sangat keras. Nafasnya terengah-engah. Detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
            “Kamu kenapa Diana?” Tira memandangi Diana yang begitu pucat. Anak-anak dengan cepat masuk ke dalam kelas. Bersamaan dengan kepanikan yang terjadi. Diana hanya mengeleng. Keringat mulai membasahi keningnya. Jelas saja, bunyi itu sagat terdengar dengan keras. Bukan pukulan keras yang membuat tangannya terasa sakit. Tapi, pukulan yang ia tidak ketahui siapa pelakunya. Badannya merinding.
“Aku tidak tahu. Dari awal aku merasakan hawa panas di kursi itu. Aku melihatnya lagi di kesendirian sedang duduk di bangku.”
***
Di perbatasan melintas satu mobil tronton dengan kecepatan sedang. Sebuah bus melaju dari arah selatang dengan kecepatan tinggi, membawa segerombolan orang-orang. Mengalahkan gemuruhnya hujan. Hentakkan yang amat keras menimbulkan suasana yang begitu gaduh. Seketika gelap.

Semuanya menjadi terang.
***
Diana POV
“Diana! Alit! Kemari! Bapak minta tolong untuk membawakan berkas-berkas yang sudah tidak penting.” Pak Wanto memanggilku dan Alit. Beliau tengah kerepotan membawa tumpukkan berkas yang katanya sudah tidak penting lagi.
            Pagi-pagi sekali pak Wanto berangkat ke sekolah. Memang guru yang satu ini adalah guru paling rajin. Aku dan Alit menghampirinya.
“Diana, kamu bawa berkas yang ini. Dan kamu Alit bawa berkas yang ini. Bantu saya bawa ke halaman depan.” Ucap pak Wanto lagi. Kami hanya membalasnya dengan anggukan.
            Kami berdua sudah meletakkannya di sebuah bangku koridor yang menghubungkan antara gedung Kelas 10 dan kelas 11. Sementara kelas 12 berada di samping kelas 10. Diana dan Alit terduduk di samping berkas-berkas itu.
            “Di, kemarin kamu merasakan hal apa?” Alit membuka perbincangan pagi ini. kini sebagian anak sudah mulai berdatangan. Beberapa anak menyapaku dan Alit.”
            “Biasalah. Aku merasakan ada hal yang aneh dengan Tira. Anak baru itu.” Aku membuang nafasku berat. Aku jadi teringat dengan kejadian di taman kota tadi. Ada kecelakaan disana. Entahlah, aku hanya teringat. “Oh iya. Lit, tadi kamu melihat ada yang kecelakaan motor dengan mobil tronton di taman kota?” Tanyaku memastikan. Pasti Alit tahu jika ada yang kecelakaan. Arah rumahku dan rumahnya sama. Kami pasti melewati taman kota.
            “Oh. Tidak ah. Jalanan taman kota kan sedang diperbaiki sejak kemarin sore. Jadi daerah disekitar jalanan itu ditutup. Jalanan hanya dilewati oleh pejalan kaki.” Mataku membulat oleh pernyataan Alit. Aku termenung sangat lama. Ini tidak mungkin. Jelas-jelas kemarin sore jalanan taman kota baik-baik saja dengan beberapa pengemudi dan tadi pagi ramai karena ada kecelakaan.
            Alit menggerang dengan keras yang membuatku kaget dan semua lamunanku buyar. “Alit!” Teriakku sambil memukul punggungnya. Tiba-tiba pandanganku tearah pada map biru. Bertuliskan “2005” didepannya. Aku tertarik untuk melihat isisnya. Aku tertarik pada angka ini. Angka-angka dimana pertama kali aku pindah ke kota ini. Pertama kali aku mendapatkan kemampuan melihat hal-hal mistik.
            Aku menyipitkan mataku lalu meraih map biru itu. Daftar murid-murid beserta identitasnya. Aku jadi teringat tentang cerita Siska. Ketika seorang perempuan yang merupakan salah satu murid disekolah ini. Tewas dengan mengenaskan. Sejujurnya aku tidak begitu menanggapi hal itu. Tapi sesuatu menyeruhku untuk harus mengetahui sejarah 8 tahun silam.
           
***
Diana POV
Semuanya menjadi gelap. Aku menelusuri jalanan taman kota. Awan gelap menghiasi langit menandakan akan turun hujan. Aku menelisik taman kota yang sepi dan jalanan yang masih berantakkan. Aku berhenti sejenak diseberang jalan. Berdiri di tepian. Selama 10 menit aku berdiri. Rintikan hujan sudah mulai turun. Air mata mulai membasahi pipiku. Aku tak sadar bila air mataku jatuh dibarengi dengan air hujan. Badanku sudah kuyup. Aku menyeka air mataku. Ini benar-benar aneh. Dadaku terasa sesak. Ada perasaan yang janggal yang membuatku menjadi sendu. Entahlah, mengapa air mata ini turun dengan tiba-tiba.
            Tira Elisa Tenn. Nama itu masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Nama yang sama dengan nama Tira, murid baru pindahan dari Majalengka. Dan yang membuatku tercengang adalah, nama siswi angkatan 2005 memiliki nama belakang yang sama denganku.  Siswi yang kulihat identitasnya dari map biru yang ingin ku rapihkan. Aku bisa berpikiran, bahwa nama seperti itu mungkin banyak yang punya. Tapi aku heran dengan identitas siswi tersebut. Rupa di fotonya sedikit mirip dengan Tira.
            Angin pancaroba mulai menampari pipiku. Ini sangat dingin dan sekarang aku menggigil kedinginan. Aku merapatkan tubuhku. Rasanya aku tidak ingin pulang. Aku hanya ingin berdiam diri di tempat ini sambil memandangi jalan taman kota.
Aku mulai merasakan pening di kepalaku. Semakin sakit hingga aku tidak dapat menahannya lagi.
***
Author’s POV
Keesokkan paginya saat jam istirahat sudah habis. Joko, penjual soto itu tengah sibuk membersihkan meja makan yang habis dipakai oleh murid-murid untuk membeli sotonya. Joko sudah hampir 8 tahun tinggal di kota ini dan berjualan di sekolah ini. Semua tentang sekolah ini sudah ia ketahui. Termasuk sejarah sekolah ini. Semenjak Diana masuk ke sekolah ini. Joko merasakan hal yang tidak asing baginya. Joko merasakan Martin datang kembali.
            Kemudian lelaki itu termenung sendirian sembari terduduk di atas bangku panjang. Separuh penjual juga sedang sibuk dengan dagangannya masing-masing. Ada juga yang sedang berbicara dengan pedagang lainnya.
            “Mang, pesan satu ya.” Diana datang membuyarkan lamunannya. Wajahnya sangat pucat. Joko mengangguk lalu bergegas membuatkan satu mangkok soto hangat dengan kuah kaldu ayam yang nikmat. Joko menempatkannya dihadapan Diana.
            “Nggak belajar, neng?” Joko mengalungkan serbet di lehernya dan mengelap keningnya yang basah bercucuran keringat.
            “Sedang tidak ada pelajaran. Kebetulan saya sedang kelaparan.” Ujar gadis manis itu. Diana kembali memasukkan soto kemulutnya dengan lahap. Lelaki yang ikut duduk di depannya memandangi setiap lekuk wajahnya.
            “Lagi sakit, neng?” Tanya Joko.
            “Iya. Kemarin saya kehujanan. Jadi sekarang sedikit nggak enak badan.”
            “Muka neng Diana mirip banget sama alumni sekolah ini.”
            “Oh ya? Siapa, mang?”
            “Namanya Martin.” Laki-laki? Gumam Diana dalam hati. “Tapi dia sudah tidak ada lagi. Dia sudah meninggal sekitar 8 tahun yang lalu.”
***
Delapan tahun yang lalu.
Kegembiraan menyelimuti para murid-murid SMA Harapan. Sore itu mereka tengah disibukkan dengan acara “Refresh School” yang diadakan setiap setahun sekali. Mereka akan berangkat ke Bandung tepat pukul empat sore. Bus datang terlambat. Mereka telat setengah jam. Alhasil keberangkatan ditunda.
            Dalam senja mereka mulai berangkat. Awan hitam menghiasi langit. Gelap dan ingin segera turun hujan. Pada saat itu, keadaan mulai riuh. Bus mulai keluar dari tempatnya berpijak. Ingin segera pergi ke Bandung. Sopir mulai menyalakan pedal gas. Anak-anak sudah duduk ditempatnya masing-masing. Mereka semua berdoa sebelum berangkat untuk kelancaran dalam perjalanan.
           
Di perbatasan, melintas sebuah mobil tronton yang amat besar. Mobil tronton itu melaju dengan kecepatan yang diambang normal. Sedangkan bus yang membawa murid-murid dan sebagian staff guru itu melaju dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Semua seisi bus sudah terlelap tidur. Mungkin hampir seharian ini telah menunggu bus yang telat datang. Tanpa menyadari, sopir pun menekan pedal gas dalam-dalam. Dan kondisi sopir yang dengan keadaan kabut. Terjadilah suatu peristiwa yang amat megenaskan.
            Alhasil kedua kubu mobil itu saling bertabrakkan. Membuat gentar seluruh isi kota ini. Beruntungnya hanya 1 orang tewas dan satu lagi, 1 orang perempuan belum ditemukan. Kecelakaan terjadi di taman kota itu. Taman kota yang terletak di pinggir sungai. Barangkali perempuan itu masuk sungai. Tidak. Tim gabungan sudah mencari disekitar danau. Hasilnya nihil.
“Sudah delapan tahun mayat itu tidak ditemukan. Ini sungguh aneh dan di luar nalar manusia sendiri. Tidak ada tanda-tanda yang membuktikkan bahwa siswi perempuan itu tewas.” Joko melanjutkan. Nada suaranya semakin getar.
“Siapa nama murid yang belum ditemukan itu?” Tanya  Diana.
“Tira—Tira.... Saya lupa nama lengkapnya. Siapa ya?” Pak Joko masih berpikir keras.
“Tira Elisa Tenn?” Diana memastikan. Mereka terdiam sejenak. Dia menunggu ekspresi yang akan dibalas oleh Joko. Tak lama pria itu mengangguk
            “Iya benar!” Jawabnya semangat. Joko yakin betul dengan nama yang disebutkan Diana. “Dan— 1 orang yang meninggal bernama Martin. Itu yang sangat mirip denganmu. Sangat mirip.” Lanjutnya tak kalah semangat dengan yang sebelumnya.
           
Diana tercengang ketika mendengar pernyataan dari Joko. Tidak ada ekspresi main-main yang diperlihatkan oleh pedagang soto itu. Kenapa baru sekarang ia mengetahui semua ini. Ini benar-benar menjanggalkan, bisiknya dalam hati.
***
Diana POV
Yang masih terbayang-bayang di pikiranku adalah pria yang disebut-sebut bernama Martin. Siapa dia? Rasanya tidak asing dengan wajahnya. Ya, aku pernah melihat identitas Martin pada buku tahunan di map biru. Wajahnya memang sedikit  mirip denganku. Tapi ini bukan masalah wajah saja yang mirip denganku. Aku ingat betul biodata yang dicantumkan didalamnya. Tanggal lahir, hobi, cita-cita, dan lainnya. Hanya yang berbeda pada tahun kelahiran kami. Apa mungkin dia adalah saudara kembarku? Tapi tidak mungkin. Dari segi tahun kehidupannya dan tahun kehidupanu sangatlah berbeda. Lagipula aku ini adalah anak tunggal.
Aku sangat lelah. Dari jam tujuh pagi, aku dan Tira mengerjakkan tugas matematika. Memusingkan diri di hari libur benar-benar tidak menyenangkan.
Sekarang, tugas sudah selesai ku kerjakan. Tira sudah pulang sejak tadi. Dan aku terduduk di teras rumahku. Semilir angin masuk kedalam pori-pori kulitku. Aku melihat kearah jam tangan digitalku yang melingkar dipergelangan tangan kiri. Pukul menunjukkan sepuluh pagi. Hujan rintik-rintik membasahi kebun rumahku. Sekarang hujan, tetapi langit nampak cerah. Layaknya sedang ada kematian yang terjadi di kotaku.
            Ayah sedang asyik menonton televisi. Sedangkan ibu tengah memasak didapur untuk makan siang nanti. Aroma ayam pangganngnnya tercium sampai ke indera penciumanku. Aku memalingkan pandanganku kearah ponselku yang berdering. Panggilan masuk dari Siska. Aku buru-buru mengangkatnya.
Suaranya sangat sendu dan purau. Seketika jantungku serasa ingin copot dari tempatnya. Mataku membulat. Seluruh aliran darahku berhenti. Ini tidak mungkin. Didalam percakapan telepon, Siska menyuruhku untuk segera pergi ke pemakaman umum. Kalian tahu aku ingin melayat siapa? Gadis baru itu. Tira. Sungguh, dadaku benar-benar sesak. Dia meninggal sejak kemarin malam. Dan siapa yang sedari tadi mengerjakan tugas bersama-sama denganku?
            Satu hal yang ingin aku lakukan saat ini adalah bukan ingin pergi ke pemakaman itu. Tapi aku ingin sekali pergi ke rumah Mang Joko. Hatiku bergerak untuk pergi ke rumahnya.
***
“Baca ini!” Perintah Mang Joko. Aku menuruti perkataannya. Dalam surat kabar itu, menjelaskan bahwa mayat yang sudah delapan tahun menghilang sudah ditemukan. Tira Elisa Tenn. Aku memandangi koran itu cukup lama. Aku mengerjapkan mataku cukup lama.
“Dia datang, Mang. Tira yang kembali. Kami hanya titisan. Kami hanya titisan yang hidup di dua sisi yang berbeda. Kami hanya titisan.” Ujarku kemudian membuka mata. Aku seperti diberi petunjuk. Aku benar-benar merinding.
Aku melihatnya dengan wajah yang amat pucat. Duduk di kerumunan. Dengan ekpresi keheningan. Sungguh menyeramkan. Karena, aku selalu melihat itu.
           
***
Aku terduduk disamping batu nisan Tira. Ini adalah tempat istirahat terakhir Tira. Di sini benar-benar sunyi. Sebagian terlihat olehku. Di bawah, seorang anak kecil tengah tertawa. Aku memalingkan pandanganku, kembali menatap tanah merah ini.
“Semua yang terjadi benar-benar aneh bagiku.” Aku berbicara sendiri. Mungkin hanya makhluk-makhluk tak berupa yang mendengar pembicaraanku. “Mengapa harus terjadi denganku? Aku tidak mengerti dengamu. Aku tidak mengerti dengan Martin. Siapa dia?” Air mata mulai membasahi pipiku. Aku bisa gila kalau seperti ini. Aku merunduk sebentar, ketika seorang menyentuh pundakku dengan lembut. Kepalaku terangkat, menoleh kearahnya.
Wajahnya benar-benar pucat. Aku menghirup aroma antiseptik dari tubuhnya. Bagiku wajah pria itu sungguh tampan. Benar-benar tampan.
Aku mengenalinya. Dia duduk di sebelahku. Mengeluarkan sapu tangan dan menyeka air mataku. Aku terdiam sejenak. Membiarkan dia melakukan ini.
            “Kamu harus mampu menghadapinya.” Ujar pria itu. Aku langsung memegang telapak tangannya yang dingin. Dia berbeda denganku. Tapi aku sungguh tidak takut dengannya.
“Aku tidak mengerti dengan semua ini.” Aku kembali terisak. Dia menyeringai kecil kepada ku. Dia mendekatkan tubuhnya kearahku. Aroma anti septik itu semakin menyengat. Sangat mengganggu indera penciuman ku.
            Dia semakin mendekat. Mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Aku menutup mataku perlahan. Merasakan hembusan nafasnya. Tidak, maksudku hembusan angin yang kencang dan — mendekat. Semakin dekat. Bibirnya mendarat di keningku. Aku kembali meneteskan air mataku. Dia mencium keningku selama 10 menit. Aku masih menutup mataku.
“Kamu akan tahu maksud dari semua ini. Semua yang berkaitan denganmu. Karena kamu pernah mengelaminya.” Aku merasakan kelembutan darinya. Aku membuka mataku perlahan. Dia sudah menghilang. Aku mengerti semua ini. Aku mengerti. Dan aku sungguh benci semua ini.
Gadis itu masih menatapiku dengan tatapan yang sendu. Aku benci semua ini. Aku ingin teriak sekeras-kerasnya dikuping para persetan gila. Aku benci semua ini.